Prinsip kehati-hatian |
Prinsip Kehati-hatian
Yakni dimana seseorang atau suatu instansi
harus berhati-hati dalam menggunakan media Internet untuk berbagi informasi.
Karena media internet sangat banyak sekali Cybercrime sehingga duty care
(prinsip kehati-hatian) itu sangat diperlukan. Banyak sekali contoh-contoh kasus yang
membahas tentang etika kita ketika sedang berinternet. Memposting hal-hal yang
bisa membuat orang tersinggung dengan ucapan kita. Apa lagi di dunia maya
banyak sekali yang berbicara tidak dengan etika yang seharusnya.
Seharusnya Kita sebagai warna negara yang baik dan
tentunya mempunya norma-norma tentu sudah selayaknya berbicara dan meposting
perilaku yang sewajarnya dan tidak mengadung sara dansebaginya. Meskipun tidak
dapat dipungkiri lagi, semua orang sifat pasti berbeda-beda, namun kita sejak
dini tanamkanlah sikap kehati-hatian dalam menyampaikan sesuatu.
Contoh Kasus :
- Kasus Jual Keperawanan di Internet
Wajah cantik, tubuh langsing, rambut
panjang yang tergerai hitam, Shatuniha -- nama aliasnya-- bisa mendapatkan
lelaki idaman dengan mudah.
Namun, bukannya melakukan penjajakan
pasangan hidup, gadis 18 tahun asal Rusia itu dilaporkan melelang
keperawanannya di internet. Laku kurang dari US$ 30 ribu atau sekitar Rp 340
juta. Tak sampai miliaran.
Ia mengiklankan dirinya di dunia maya,
untuk dilelang, Shatuniha menggambarkan kondisinya sebagai "baru -- bukan
bekas pakai".
Shatuniha mengajak pembeli kegadisannya
untuk melakukan pertemuan di sebuah hotel di Kota Krasnoyarsk, ia berharap
dibayar di muka sebelum melakukan hubungan seksual dengan pria yang mampu
menawar di atas harga minimal yang ia patok.
Apa alasannya menjual diri? "Aku
sangat membutuhkan uang. Jadi, aku menjual milikku yang paling berharga,"
kata dia dalam sebuah situs lelang yang dikabarkan The Siberian Times dan dilansir Daily Mail, 1
November 2013.
"Aku siap bertemu dengan si
pembeli, besok sekalipun," kata Shatuniha. Ia juga bersedia diperiksa,
apakah masih perawan atau tidak.
"Aku bisa saja datang ke hotel di
Predmostnaya Square membawa dokumen yang menkonfirmasi keperawananku, bersama
orang yang akan membayarku secara tunai, melakukannya, dan ia boleh pergi.
Tapi, aku tidak mau dibodohi."
Polisi Angkat Tangan
Meski tak lazim, polisi tak bisa berbuat
apa-apa. Penyelidikan tak mungkin dilakukan karena baik Shatuniha maupun si
pembeli tidak melanggar hukum.
Apa yang dilakukan Shatuniha juga tak
masuk deskripsi 'prostitusi' dalam UU. Polisi juga "tak merasa berhak
memberikan penilaian moral atas tindakannya."
Ada dugaan, Shatuniha pernah menawarkan
keperawanannya di situs lain, April 2013 lalu.
Di situs itu, ia mengatakan, "Aku
berusia 17 tahun, sebentar lagi berusia 18 tahun. Aku dalam kondisi terdesak
sehingga harus menjual keperawananku."
"Aku ingin menjual keperawananku
dengan harga sangat tinggi untuk mereka yang bisa menghargainya," kata
dia. "Aku tak punya kebiasaan buruk, wajahku menarik. Aku tinggal di
Krasnoyarsk namun siap pergi ke tempat lain." (Ein)
2. Permen Kominfo Soal Situs Negatif Melanggar Hukum
Sejumlah aktivis dan penggiat internet, baru saja
membahas Peraturan Menteri (Permen) tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan
Negatif yang telah disahkan bulan Juli lalu.
Beberapa pihak terkait yang hadir di antaranya adalah ICT
Watch, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), LBH Pers, dan SafeNet.
Pertemuan ini adalah salah satu media untuk menolak
disahkannya Permen konten negatif tersebut. Mereka menganggap, Permen
Kominfo soal aturan situs negatif ini melanggar hukum.
"Peraturan yang masuk dalam Permen No.19 Tahun 2014
Tentang Penanganan Situs Bermuatan Negatif ini harus dilengkapi dengan
prosedur yang jelas. Tanpa prosedur, masyarakat tidak bisa memperoleh kebijakan
yang akuntabel dan transparan," kata Donny B. Utoyo, Direktur Eksekutif
ICT Watch, Minggu (10/8/2014) di Kedai Tjikini, Jakarta.
ICT Watch juga mempertanyakan legalitas dan legitimasi
penggunaan Trust+ Positif sebagai daftar alamat situs (database) yang disediakan oleh Direktur Jenderal
Aplikasi Informatika, Kemkominfo sebagai acuan yang wajib dipatuhi oleh
Penyelenggara Jasa Akses Internet (Internet Service Provider/ISP) untuk
memerangi situs bermuatan nagatif.
Praktek Trust+Positif juga dinilai tidak memiliki Standar
Operasi Prosedur (SOP) yang baku dan resmi. ICT Watch dalam catatannya menyebut
SOP Blokir yang menjadi landasan Trust+Positif tersebut adalah SOP 'ilegal'.
Menurut data yang dimiliki ICT Watch, Trust+Positif
berjalan di atas platform 'SOP Blokir' yang telah digunakan sejak 2011 lalu.
Dokumen SOP ini diketahui 'tidak ada penanda ataupun bukti pengesahan sebagai
sebuah dokumen resmi, semisal cap/stempel, nomor surat, tandatangan pejabat
berwenang, tanggal dan nomor surat ataupun kop surat Kominfo.
"Mana prosedur yang mengikat Permen Kominfo ini.
Sebagai produk hukum yang bersifat teknis, harus mengacu dan melaksanakan
pendelegasian dari Undang-undang yang spesifik," tambah Donny.
Donny menganggap, Permen Kominfo ini bertentangan dengan
hukum karena pengaturannya dilakukan secara tidak tepat dan serampangan.
"Intinya Permen ini tidak memiliki legitimasi, tidak
transparan serta tidak ada prosedur yang kompatibel. Kita tidak tahu proses
seperti apa yang dilakukan Trust+ Positif dalam melakukan filterisasi atau
pemblokiran situs yang dianggap negatif," tutup Donny.
Sumber :
- http://news.liputan6.com/read/736589/gadis-cantik-18-tahun-asal-rusia-lego-keperawanan-rp-340-jt
- http://tekno.liputan6.com/read/2089035/permen-kominfo-soal-situs-negatif-melanggar-hukum
Disunting oleh : www.irwanhendrasaputra.pw
0 komentar:
Posting Komentar