Assalamualaikum Wr. Wb

Sabtu, 04 April 2015

Prinsip Kehati-hatian

Prinsip kehati-hatian
Prinsip Kehati-hatian
Yakni dimana seseorang atau suatu instansi harus berhati-hati dalam menggunakan media Internet untuk berbagi informasi. Karena media internet sangat banyak sekali Cybercrime sehingga duty care (prinsip kehati-hatian) itu sangat diperlukan. Banyak sekali contoh-contoh kasus yang membahas tentang etika kita ketika sedang berinternet. Memposting hal-hal yang bisa membuat orang tersinggung dengan ucapan kita. Apa lagi di dunia maya banyak sekali yang berbicara tidak dengan etika yang seharusnya.

Seharusnya Kita sebagai warna negara yang baik dan tentunya mempunya norma-norma tentu sudah selayaknya berbicara dan meposting perilaku yang sewajarnya dan tidak mengadung sara dansebaginya. Meskipun tidak dapat dipungkiri lagi, semua orang sifat pasti berbeda-beda, namun kita sejak dini tanamkanlah sikap kehati-hatian dalam menyampaikan sesuatu.

Contoh Kasus :
  1. Kasus Jual Keperawanan di Internet

Wajah cantik, tubuh langsing, rambut panjang yang tergerai hitam, Shatuniha -- nama aliasnya-- bisa mendapatkan lelaki idaman dengan mudah. 
Namun, bukannya melakukan penjajakan pasangan hidup, gadis 18 tahun asal Rusia itu dilaporkan melelang keperawanannya di internet. Laku kurang dari US$ 30 ribu atau sekitar Rp 340 juta. Tak sampai miliaran.
Ia mengiklankan dirinya di dunia maya, untuk dilelang, Shatuniha menggambarkan kondisinya sebagai "baru -- bukan bekas pakai". 
Shatuniha mengajak pembeli kegadisannya untuk melakukan pertemuan di sebuah hotel di Kota Krasnoyarsk, ia berharap dibayar di muka sebelum melakukan hubungan seksual dengan pria yang mampu menawar di atas harga minimal yang ia patok. 
Apa alasannya menjual diri? "Aku sangat membutuhkan uang. Jadi, aku menjual milikku yang paling berharga," kata dia dalam sebuah situs lelang yang dikabarkan The Siberian Times dan dilansir Daily Mail, 1 November 2013. 
"Aku siap bertemu dengan si pembeli, besok sekalipun," kata Shatuniha. Ia juga bersedia diperiksa, apakah masih perawan atau tidak. 
"Aku bisa saja datang ke hotel di Predmostnaya Square membawa dokumen yang menkonfirmasi keperawananku, bersama orang yang akan membayarku secara tunai, melakukannya, dan ia boleh pergi. Tapi, aku tidak mau dibodohi."
Polisi Angkat Tangan
Meski tak lazim, polisi tak bisa berbuat apa-apa. Penyelidikan tak mungkin dilakukan karena baik Shatuniha maupun si pembeli tidak melanggar hukum. 
Apa yang dilakukan Shatuniha juga tak masuk deskripsi 'prostitusi' dalam UU. Polisi juga "tak merasa berhak memberikan penilaian moral atas tindakannya." 
Ada dugaan, Shatuniha pernah menawarkan keperawanannya di situs lain, April 2013 lalu. 
Di situs itu, ia mengatakan, "Aku berusia 17 tahun, sebentar lagi berusia 18 tahun. Aku dalam kondisi terdesak sehingga harus menjual keperawananku." 
"Aku ingin menjual keperawananku dengan harga sangat tinggi untuk mereka yang bisa menghargainya," kata dia. "Aku tak punya kebiasaan buruk, wajahku menarik. Aku tinggal di Krasnoyarsk namun siap pergi ke tempat lain." (Ein)

2. Permen Kominfo Soal Situs Negatif Melanggar Hukum

Sejumlah aktivis dan penggiat internet, baru saja membahas Peraturan Menteri (Permen) tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif yang telah disahkan bulan Juli lalu.
Beberapa pihak terkait yang hadir di antaranya adalah ICT Watch, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), LBH Pers, dan SafeNet.
Pertemuan ini adalah salah satu media untuk menolak disahkannya Permen konten negatif tersebut. Mereka menganggap, Permen Kominfo soal aturan situs negatif ini melanggar hukum.
"Peraturan yang masuk dalam Permen No.19 Tahun 2014 Tentang Penanganan Situs Bermuatan Negatif  ini harus dilengkapi dengan prosedur yang jelas. Tanpa prosedur, masyarakat tidak bisa memperoleh kebijakan yang akuntabel dan transparan," kata Donny B. Utoyo, Direktur Eksekutif ICT Watch, Minggu (10/8/2014) di Kedai Tjikini, Jakarta.
ICT Watch juga mempertanyakan legalitas dan legitimasi penggunaan Trust+ Positif sebagai daftar alamat situs (database) yang disediakan oleh Direktur Jenderal Aplikasi Informatika, Kemkominfo sebagai acuan yang wajib dipatuhi oleh Penyelenggara Jasa Akses Internet (Internet Service Provider/ISP) untuk memerangi situs bermuatan nagatif.
Praktek Trust+Positif juga dinilai tidak memiliki Standar Operasi Prosedur (SOP) yang baku dan resmi. ICT Watch dalam catatannya menyebut SOP Blokir yang menjadi landasan Trust+Positif tersebut adalah SOP 'ilegal'.
Menurut data yang dimiliki ICT Watch, Trust+Positif berjalan di atas platform 'SOP Blokir' yang telah digunakan sejak 2011 lalu. Dokumen SOP ini diketahui 'tidak ada penanda ataupun bukti pengesahan sebagai sebuah dokumen resmi, semisal cap/stempel, nomor surat, tandatangan pejabat berwenang, tanggal dan nomor surat ataupun kop surat Kominfo.
"Mana prosedur yang mengikat Permen Kominfo ini. Sebagai produk hukum yang bersifat teknis, harus mengacu dan melaksanakan pendelegasian dari Undang-undang yang spesifik," tambah Donny.
Donny menganggap, Permen Kominfo ini bertentangan dengan hukum karena pengaturannya dilakukan secara tidak tepat dan serampangan.
"Intinya Permen ini tidak memiliki legitimasi, tidak transparan serta tidak ada prosedur yang kompatibel. Kita tidak tahu proses seperti apa yang dilakukan Trust+ Positif dalam melakukan filterisasi atau pemblokiran situs yang dianggap negatif," tutup Donny.

Sumber :
  1. http://news.liputan6.com/read/736589/gadis-cantik-18-tahun-asal-rusia-lego-keperawanan-rp-340-jt
  2. http://tekno.liputan6.com/read/2089035/permen-kominfo-soal-situs-negatif-melanggar-hukum

Disunting oleh : www.irwanhendrasaputra.pw



0 komentar: